Rabu, 13 Juni 2012
Everest: hari 6
Hari ini perjalanan kami lanjutkan ke Tengboche. Meskipun jalannya berupa tanjakan, tapi ngga sesusah jalan menuju Namche...ini, terus terang, melegakan...Kami merasa terhibur dengan pemandangan yang menakjubkan, mulai dari bunga rododenron warna-warni, sampai puncak-puncak gunung bersalju.
Sepanjang jalan kami banyak berhenti untuk berfoto ria, terutama di tempat-tempat yang dapat mengambil latar belakang puncak gunung, seperti puncak gunung ama dablam yang terlihat sangat dekat dari jalur trekking kami. Kali ini, yang menarik buatku adalah rumah-rumah penduduk himalaya. Setiap melewati desa demi desa, aku melihat bahwa rumah- rumah mereka memiliki kesamaan bentuk. Jendelanya selalu berbentuk kotak- kotak dengan bingkai kayu, lalu di cat warna hijau, merah, atau biru (Aku ngga tau alasan kenapa hanya menggunakan 3 warna itu). Lalu rumahnya akan terbuat dari tumpukan batu-batu gunung yang disusun-susun; ngga dicetak dalam ukuran yang sama seperti batu bata.
Nahh...untuk merekatkan batu-batu itu, lagi-lagi, mereka menggunakan kotoran hewan ( sapi, jobke, dan yak)...bukan semen. Lalu dinding ruangan di bagian dalam akan dilapisi dengan kayu. Di satu sisi, mungkin mereka memang hanya mau memanfaatkan bahan baku dari alam sekitar mereka. Tapi di sisi lain, batu dan kayu menjaga suhu dalam ruangan agar tidak terlalu panas di siang hari, dan tidak terlalu dingin di malam hari. Penggunaan kayu nampaknua diminiamalisir oleh penduduk lokal. Paling engga, kayu hanya digunakan untuk konsumsi pribadi. Mingkin mereka sadar bahwa mengambil kayu secara berlebihan di hutan sekitar himalaya dapat menyebabkan longsor di pegunungan. Desa mereka bisa-bisa terkubur...
Oh, yahh...bicara soal kebiasaan, ada 1 hal lagi yang bikin aku kagum... Di sepanjang jalan yang kami lewati, nyaris tidak kami temukan sampah! Padahal paling engga puluhan hingga ratusan orang akan melewati jalan setapak di himalaya setiap hari.... Satu-satunya sampah di jalan adalah kotoran hewan (dan nampaknya itu tidak masuk golongan "sampah"). Kesadaran penduduk lokal untuk menjaga kebersihan jalur trekking di sekitar tempat tinggal mereka membuat kami pun sungkan untuk membuang plastik sisa makanan di sembarang tempat. Ada pula kebiasaan yang menyenangkan disini.
Sepanjang perjalanan, kami akan berpapasan dengan trakker asing atau penduduk himalaya yang sedang mengangkut barang. Dan setiap kali berpapasan, kami selalu mengucapkan " namaste...", yang artinya "halo/ hai". Jika disapa, jarang ada orang yang mengabaikan. Mereka biasanya balik menyapa," namaste".... Bagiku pribadi, terkadang justru satu kata itu menjadi penyemangat saat aku kelelahan di tengah jalan. Bertemu orang baru yang menyapa dengan senyum yang tulus, meskipun tidak dilanjutkan dengan berkenalan, memiliki arti tersendiri sepanjang perjalanan panjang kami. Di kesempatan lain, satu kata itu terkadang menjadi awal dari tukar cerita dan pembicaraan yang sangat panjang dengan trakker lainnya di sekitar pemanas ruangan lodge.
Aku jadi berpikir, seandainya saja semua tempat wisata di Indonesia masyarakatnya punya kesadaran pariwisata seperti masyarakat himalaya ini, pasti menyenangkan.... Sayangnya, menurutku hanya masyarakat Bali yang memiliki kesadaran demikian, meskipun potensi pariwisata Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke... Faktor sumber daya manusia memiliki nilai penting untuk menyokong sektor pariwisata suatu negara. Makanya, ngga heran kalau singapura yang kecil aja jumlah turisnya setiap tahun bisa 2-3 kali lipat dibandingkan turis yang berkunjung ke indonesia. Meskipun untuk membangun sumber daya manusia membutuhkan pendidikan, tapi bukankah senyuman dapat dilakukan oleh siapa saja???? Lagipula, kalau bicara tentang pendidikan dan kemajuan bangsa sebagai faktor penunjang pariwisata, seharusnya orang indonesia tersipu malu melihat penduduk himalaya. Negara nepal pendapatan per kapitanya hanya 1/3 pendapatan per kapita indonesia -- kurang lebih sekitar US$ 650 pada 2011 lalu. Tidak banyak dari penduduknya yang terpelajar...apalagi penduduk himalaya. Mengeja huruf di bon saja mereka masih salah-salah. Lingkungan mereka pun terisolir. Tidak ada fasilitas listrik yang tidak mengandalkan solar sel. Kendaraan? Satu motor pun ngga punya. Tapi kalau soal pelayanan terhadap turis, paling engga kalian akan mengacungkan 1 jempol.... Aku rasa ada baiknya anak-anak sekolah pariwisata berKKNria ke himalaya....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar