Halaman

Selasa, 12 Juni 2012

Everest: hari 4


 Sebagian besar penduduk Nepal di Khatmandu adalah penganut ajaran Hindu. Namun sebagian besar penduduk Nepal di himalaya adalah penganut ajaran Budha. Aku tidak mengenal kepercayaan penganut budha pada umumnya, sehingga tidak bisa membedakan sejauh mana perbedaan kepercayaan penganut budha di Nepal dan di Indonesia.

lonceng doa di pinggir jalan
 Sepanjang jalan, kami banyak menemukan tumpukan batu bertulis. Jika dilihat, seperti potongan-potongan batu prasasti yang sering ditemukan di situs sejarah di Kalimantan Timur, tetapi ditumpuk-tumpuk sampai tinggi. Guide kami, Kitab, mengatakan bahwa batu-batu itu bertuliskan kata-kata doa yang sering mereka sebut " phuja". Tumpukan batu itu memang sengaja dibangun sebagai tempat persinggahan apabila ada seseorang yang lewat dan ingin berdoa disana, demikian menurut kepercayaan mereka. Berdoa pada siapa? Aku kurang tau pasti, tapi yang jelas pada dewa-dewa yang mereka percaya.
deretan batu phuja

 Uniknya, setiap kali melewati batu-batu phuja tersebut, para warga himalaya akan memilih lewat sebelah kiri. Aku sendiri tidak tau mengapa jalurnya harus sebelah kiri. Suatu kali, ada sebuah batu phuja yang letaknya cukup tinggi, sehingga untuk mencapainya harus menaiki belasan anak tangga dari batu. Saat aku melihat teman-teman sherpa kami menaiki anak tangga itu, aku mengira bahwa itulah jalan yang harus dilewati, maka aku ikut naik. Namun setelah kami mengambil beberapa jepretan foto pemandangan, teman-teman sherpa kami turun melalui tangga batu lain menuju jalan yang sebenarnya bisa ditempuh dengan jalan datar di sebelah kanan. Saat aku bertanya kenapa dia mengambil jalur menanjak, ia hanya menjawab," karena saya menganut ajaran budha.."
bentangan bendera phuja

 Selain batu, ada juga bendera warna warni. Bendera itu digantung membentang di tengah kota dan di jembatan-jembatan yang menghubungkan tebing. Awalnya aku kira itu hanyalah bendera biasa. Tapi setelah dilihat dengan teliti, ternyata di bendera-bendera tersebut ada tulisan doa-doa....ternyata itu pun adalah bendera phuja. Bendera phuja terdiri dari 5 warna: biru, kuning, merah, putih, dan hijau. Setiap warna memiliki makna tersendiri... Biru, lambang dewa penguasa langit Kuning, lambang dewa penguasa bumi Merah, lambang dewa penguasa api Putih, lambang dewa penguasa udara Hijau, lambang dewa penguasa air. Bendera-bendera ini sengaja digantung membentang, karena penduduk himalaya percaya bahwa doa di bendera tersebut akan disebarkan oleh angin ke seluruh penjuru desa. Harapannya, agar semua warga desa bernasib baik. Terlepas kita percaya atau tidak, setidaknya itulah yang mereka percayai...

aliran sungai doth koshi
 Sebenarnya aku mau menceritakan tentang tempat persinggahan kami hari ini: Namche. Tapi aku sedang dalam kondisi bad mood, karena baru dapat pengalaman buruk. Sehabis makan siang di Jorsalle, langit nampak mendung, disusul hujan yang mulai turun rintik-rintik. Kami akhirnya mengeluarkan jas hujan, karena perjalanan harus tetap berlanjut. Perjalanan Jorsalle menuju Namche adalah salah satu rute paling berat, karena tanjakan yang tajam; kemiringan tebingnya mungkin mencapai 60 derajad....atau lebih.. Selain itu, perpindahan lokasi kami hari ini cukup ekstrim, karena naik dari ketinggian 2600 m menuju 3400 m; naik setinggi 800 m. Perjalanan kami di tanjakan itu sungguh dramatis...berjalan mendaki di tengah derasnya hujan, sedangkan kiri- kanan kami adalah tebing yang curam.

penampakan periche dari atas
Napasku tersengal-sengal. Aku beberapa kali berhenti untuk mengambil napas, minum beberapa teguk air, makan apel....tapi tidak banyak membantu. Beberapa kali aku berusaha mengalihkan perhatian dengan melihat ke sungai Doth Koshi yang mengalir deras di bawah sana, berharap aliran gleysernya yang berwarna kebiruan turut menyegarkan perasaan dan semangatku. Tapi yang terjadi justru aku bisa merasakan jantungku berdebar kencang seakan mau copot dari tempatnya, seakan-akan dia bisa loncat keluar melalui tenggorokanku. Dadaku sakit sekali. Kitab berusaha menolong dengan mengambil alih ransel yang aku bawa. Dan setelah 4 jam perjalanan, kami akhirnya tiba di penginapan di namche. Aku rasa aku mengalami AMS ( altitude mountain sickness).  Tapi aku benar-benar kaget saat aku merasakan ada yang aneh. Saat di depan perapian, aku tidak langsung merasa hangat, malah kegerahan. Saat aku buka jas hujan yang kupakai, ternyata bajuku basah semua...termasuk jaket yang kupakai pun basah karena hujan.....raincoatku ngga water resistant!!!!!! Bagaimana mungkin!!!!!!  Aku marah...aku kecewa...aku sedih....semuanya bercampur aduk saat ini.

Sekarang aku sudah ganti baju, dan merasa kedinginan. Aku sudah menutup tanganku dengan sarung tangan, tapi aku bahkan tidak bisa merasakan jari-jari ku...sampai-sampai harus kuraba satu per satu untuk dimasukkan ke bagian-bagian jari sarung tangan yang tepat. Bukan hanya aku yang menganggap hari ini musibah....Anton juga. Anton terkena AMS. Sekarang kepalanya pusing, dan dia harus istirahat di kamar. Untungnya kami dijadwalkan untuk menginap 2 malam di Namche, demi memberi kesempatan tubuh beraklimatisasi (menyesuaikan diri dengan perubahan ketinggian). Fiuhhhh.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar