Salah satu warga negara kita yang bekerja di Dubai berkata kepadaku,
“Jangan sampai jadi pembantu rumah tangga di Dubai”.
Banyak yang mengakui betapa menyenangkannya hidup di ke-emir-an Dubai. Meskipun disana status kita adalah pendatang, tetapi ada kepastian hukum yang menjamin ‘aturan main’ negeri itu dapat berjalan. Jadi, asal mengikuti aturan yang berlaku, kita dijamin untuk bisa memiliki tempat tinggal, kendaraan, membuka usaha, bahkan memperoleh pelindungan hukum untuk hak-hak yang harus kita peroleh. Tapi ada catatan penting: jangan sampai harus berurusan dengan hak warga lokal – karena bagaimanapun mereka, para warga local, akan selalu didahulukan oleh pemerintah.
Menurut lawan bicaraku, hal itu sangat kentara dalam kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga. Banyak pembantu rumah tangga di negeri ini adalah warga Indonesia. Dan negeri ini termasuk salah satu yang memberikan perlakuan buruk terhadap TKI kita. Selain penyebabnya adalah kemampuan TKI kita yang pas-pas an, mereka juga memang terbiasa untuk memperlakukan pembantu sebagai budak mereka – toh, negara pun akan berpihak pada mereka. Jadi, mau majikannya dipersalahkan atas nama hukum legal maupun hak asasi manusia, tetep aja mereka kebal – mungkin bisa aku istilahkan ‘law-resistant’ =p
UEA termasuk 3 besar negara yang terdaftar memberikan perlakuan buruk pada TKI. Menurut data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia pada tahun 2010, ada 45.626 kasus penyiksaan TKI. Penyiksaan banyak terjadi di Arab Saudi (sampai 22 ribu kasus), disusul Taiwan, Uni Emirat Arab, Singapura, dan Malaysia.
Masih hasil bincang-bincang, harus diakui kemampuan TK Indonesia jauh jika dibandingkan tenaga dari Filiphina yang juga banyak di UEA. Paling tidak dari segi bahasa, TK Filiphina bisa berbahasa inggris, sehingga memudahkan komunikasi dengan majikan dan aparat setempat (semua orang UEA menguasai bahasa Inggris). Apabila ia diperlakukan kasar oleh tuannya, ia bisa melapor. Itu saja sudah menjadi nilai plus yang sangat menguntungkan. Belum lagi mereka lebih terdidik dan memiliki kemampuan untuk bernegosiasi.
Sedangkan untuk TK Indonesia, jangankan mengharapkan mereka yang bekerja sebagai PRT untuk menguasai bahasa inggris, pekerja profesional di Indonesia pun ada yang belum menguasai bahasa inggris. Belum lagi mengharapkan TK Indonesia untuk menguasai penggunaan alat-alat elektronik yang bahkan belum tentu mereka miliki di rumah mereka di Indonesia, seperti microwave, penyedot debu, coffee-maker, mesin cuci, dll. Jika mereka masuk ke negara-negara Timur Tengah ini secara ilegal dan tanpa pelatihan dari badan penyalur tenaga kerja, sudah hampir dipastikan akan babak belur, karena dianggap tidak becus bekerja oleh majikan
Masih hasil bincang-bincang, harus diakui kemampuan TK Indonesia jauh jika dibandingkan tenaga dari Filiphina yang juga banyak di UEA. Paling tidak dari segi bahasa, TK Filiphina bisa berbahasa inggris, sehingga memudahkan komunikasi dengan majikan dan aparat setempat (semua orang UEA menguasai bahasa Inggris). Apabila ia diperlakukan kasar oleh tuannya, ia bisa melapor. Itu saja sudah menjadi nilai plus yang sangat menguntungkan. Belum lagi mereka lebih terdidik dan memiliki kemampuan untuk bernegosiasi.
Sedangkan untuk TK Indonesia, jangankan mengharapkan mereka yang bekerja sebagai PRT untuk menguasai bahasa inggris, pekerja profesional di Indonesia pun ada yang belum menguasai bahasa inggris. Belum lagi mengharapkan TK Indonesia untuk menguasai penggunaan alat-alat elektronik yang bahkan belum tentu mereka miliki di rumah mereka di Indonesia, seperti microwave, penyedot debu, coffee-maker, mesin cuci, dll. Jika mereka masuk ke negara-negara Timur Tengah ini secara ilegal dan tanpa pelatihan dari badan penyalur tenaga kerja, sudah hampir dipastikan akan babak belur, karena dianggap tidak becus bekerja oleh majikan
Mengapa seorang majikan bisa sedemikian marah, sehingga memberikan hukuman kepada pembantunya (atau baginya, budak) dengan sedemikian kejam?? Menurutku, bisa jadi sang majikan merasa telah ‘berkorban’ terlalu banyak untuk memeperoleh seorang pembantu. Jika seorang warga ingin menyewa seorang pembantu, maka ia paling tidak harus mengeluarkan US$ 1000 untuk membayar penyedia jasa pembantu. Meskipun itu terbilang besar, perlu diketahui bahwa pendapatan per kapita warga di negara ini adalah hampir US$ 50,000. ( jadi apa yang perlu dikhawatirkan?! Aku yakin uang segitu dengan mudahnya mereka hambur-hamburkan buat shopping..). Setelah itu, mereka harus mengeluarkan gaji bagi pembantu mereka yang berkisar Rp 1,5 – 2,5 juta per bulan. Tapi tidak sedikit majikan yang ngga mau rugi, dengan tidak membayar gaji pembantu mereka di beberapa bulan pertama, sebagai ganti US$ 1000 yang mereka keluarkan. (Dasar pelit…). Itu pun masih terbilang ‘majikan becus’.karena yang ngga becus bisa sampai ngga mau membayar gaji si pembantu.
Kembali ke konsep pembantu yang disamakan dengan budak. Budak itu dibeli. Dan setelah mereka dibeli, maka mereka bebas diperlakukan semau majikannya – termasuk untuk dipukuli jika dianggap tidak becus bekerja. Masalahnya adalah mereka bukan hanya dipukuli, tapi ada juga yang diperkosa hingga menghasilkan anak. Ngga heran klo TKI wanita ada yang pulang dengan membawa anak dengan tampang peranakan, dengan hidung mancung, mata besar dengan garis tegas.. padahal ibu nya wong jowo abizz...( Apakah itu termasuk dalam hak majikan dalam memperlakukan budak??!)
Tapi harus diakui, kesejahteraan dari segi gaji dan fasilitas pemerintah memang menggiurkan, meyebabkan tiap tahunnya jumlah TKI yang datang ke Dubai bukannya berkurang, namun bertambah. Toh perlakuan buruk itu tidak dialami oleh semua TKI yang jadi pembantu. Jadi, berharap saja menjadi salah satu pembantu yang memperoleh majikan baik. Itu sebabnya banyak pembantu lebih senang mendapat majikan expatriate (seperti orang-orang Eropa yang tinggal di Dubai untuk bekerja). Para expatriate dinilai masih memberikan pembantunya hak-hak yang dibutuhkan, seperti cuti, jam istirahat (dan mungkin juga bayaran ekstra). Expatriate yang bekerja selaku orang kantoran/ professional pun juga cenderung tidak melakukan kekerasan fisik.
Dan bagaimana kalau dapat majikan yang penduduk local?? Tentu saja aku ngga bisa mengatakan semua ornag local memberi perlakuan buruk. Tetapi menurut lawan bicaraku ini, ada banyak contoh kasusnya. Sekarang, kalau membayangkan kasus TKI yang disetrika oleh majikannya, digunting mulutnya, bahkan sampai yang mayatnya dibuang ke tong sampah…hhiiiihhhhhh….ngeri rasanya… Sulit percaya ada orang yang hidup di jaman modern dengan terpenuhinya segala kebutuhan duniawinya, tetapi punya perilaku seperti orang di jaman bar-bar!
Aku mulai berpikir, dan mencoba memaklumi jika majikan mereka marah besar saat baju mereka yang mahal bolong saat disetrika, guci antic milik mereka pecah, makanan unuk dinner rasanya aneh, dsb -- tapi tentu saja tidak membenarkan tindakan penyiksaan sebagai akibat dari kecerobohan itu. Para tenaga kerja itu, mereka datang hanya karena mencari nafkah dan penghidupan yang lebih baik. Banyak dari mereka bahkan baru melihat bandara dan untuk pertama kalinya naik pesawat, ya..saat jadi TKI ini. Kebayang ngga kalau terjadi delay di pesawat saat sedang transit atau ada pengurusan prosedur yang ngga becus saat mereka tiba di suatu negara?! Aku ngga bisa bayangkan betapa bingungnya mereka (dan satu lagi, ngga semua dari mereka tau ada yang namanya kantor perwakilan negara seperti KBRI). Meskipun mereka tidak terdidik, mereka ngga cukup bodoh untuk dengan sengaja merusak perabot majikannya (ok…pembenaranku adalah mereka melakukan semuanya dengan tidak sengaja). Dan mohon dimaafkan kalau hingga saat ini Indonesia ngga sanggup untuk menafkahi anak bangsanya sendiri…
Mengantisipasi resiko menjadi PRT, itu sebabnya banyak juga pendatang yang mengadu nasib di Dubai yang lebih enjoy untuk datang dan membuka usaha sendiri. Jika ada modal, cukup penuhi syarat-syarat yang diajukan pemerintah, sebuah toko atau ruko pasti bisa dibuka. Kalau belum punya modal, bisa juga jadi penjaga toko di toko milik teman sebangsa…yang penting majikannya jangan warga setempat…(rasanya seperti dilanda pengalaman traumatic). Warga China cukup pintar dalam hal ini. Jadi di Dubai, kamu ngga gampang menemukan warga China, meskipun sebenarnya mereka banyak sekali. Tapi mereka justru terkumpul untuk bekerja di salah satu mall (yang bernama Dragon Mall), menguasai semua toko yang ada disana – baik yang punya toko, hingga penjaga toko, dan penjual makanan-minuman, semuanya adalah orang China.. Di satu sisi, mereka dapat keuntungan kepastian hukum untuk menjalani usaha di Dubai. Dan sisi lain,, mereka bisa feel like home..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar