Halaman

Selasa, 02 Oktober 2012

Bahrain: kisah Jafar


Kali ini aku mau cerita tentang supir yang setia mengantar kami selama di Bahrain. Aku rasa dengan sedikit mengetahui pengalaman hidupnya, kau akan tau sudut pandang salah satu warga Bahrain mengenai negaranya. Namanya Jafar. Dia adalah penduduk asli Bahrain. Dari golongan, ia adalah penganut syiah.

Seingatku aku pernah menceritakan padamu bahwa Jafar adalah mantan pegawai bank (atau tidak pernah, ya???). Ya, ia pernah kerja di bank selama 22 tahun. Namun suatu hari di akhir tahun 2008, sesuatu yang tidak diduga terjadi. Ia dan puluhan (aku ngga tau apakah itu mencapai ratusan atau tidak) temannya yang lain dipanggil oleh atasannya. Kemudian diumumkan,
 "mulai besok, Anda tidak dapat bekerja lagi disini".

Mereka yang dipanggil sangat shock, lalu menangis. Itu bukan lelucon, dan memang nampak sebagai petaka bagi mereka pada hari itu. Krisis ekonomi yang terjadi di AS akhir tahun itu ternyata turut memukul perbankan di Bahrain, sehingga harus mengadakan perampingan jumlah karyawan. Jafar termasuk di dalamnya -- meskipun ia sudah mengabdi lebih dari 2 dasawarsa di perusahaan tersebut.

Tentunya hal tersebut sangat sulit diterima oleh Jafar. Bagaimana mungkin pemutusan hubungan kerja bahkan tidak memberi kesempatan waktu setidaknya 2 minggu hingga 1 bulan untuk mencari pekerjaan baru??!! Saat ia pulang dan menceritakan hal tersebut pada istrinya, istrinya sangat shock. Namun akhirnya mereka berusaha menghadapinya. Berbekal uang pensiun 22 ribu dinar (1 tahun pengabdiannya dihargai 1000 dinar), ia melunasi angsuran rumahnya dan membeli sebuah mobil GMC. Mobil itulah yang ia jadikan modal untuk menawarkan diri sebagai supir bagi turis dan pendatang (catatan: bahasa inggris memang selalu menjadi modal penting dimana pun kau berada…bahkan sebagai supir). Namun jika tamunya dalam jumlah 2-4 orang, ia akan menggunakan mobil sedan ford nya untuk mengantar keliling kota.

Kami pernah suatu kali mampir ke rumahnya (sehabis liputan sirkuit Bahrain). Aku, Yudi, dan Timmy sungguh ngga menduga rumahnya besar dan bertingkat – meskipun sedari awal kami tau bahwa rata-rata warga di Bahrain hidup di atas standar miskin internasional. Penampilan rumah itu pun elegan. Saat masuk ke dalamnya, tercium bau wewangian seperti rempah – terakhir kali aku mencium aroma therapy seperti ini di spa-spa dan hotel. Nampaknya, demikianlah lazimnya rumah orang-orang di Timur Tengah (mengingat aku banyak melihat toko-toko di Dubai pun banyak menjual aroma therapy sebagai perlengkapan rumah tangga) . Ada pajangan piala dan beberapa medali kejuaraan sepakbola. Kata Jafar, semua itu ia peroleh dalam pertandingan antar sesama pegawai perbankan -- dulu.

Pernah suatu kali Jafar menunjukkan kami apartemen subsidi yang diberikan oleh pemerintah Bahrain. Menurutku, apartemen itu bagus dan layak huni. Tapi ternyata tidak bagi Jafar. Baginya, lebih enak punya rumah, karena kita dapat merancang bentuknya dan membongkarnya di kala kita menginginkan suatu perubahan. Sedangkan apartemen tidak akan pernah menjadi milik kita dan tidak dapat dimodifikasi sewaktu-waktu. Terus-terang saja, aku dan teman-teman hanya tersenyum simpul. Kami tau yang Jafar katakan adalah benar. Namun bagi kami warga Indonesia, mendapatkan perumahan dengan subsidi tinggi, meskipun rumahnya hanya untuk tempat sewa, sudah menjadi suatu anugrah yang ngga akan dilewatkan..

Jafar pun pernah cerita, meskipun biaya kesehatan di Bahrain gratis, ia pernah mengalami kekecewaan dalam pelayanan kesehatan. Pasalnya, ayahnya meninggal karena gagal jantung – saat operasi ayahnya, terjadi kecerobohan medis yang menyebabkan terjadi pendarahan di dalam. Pendarahan baru diketahui 1 jam kemudian, dan ayahnya tidak terselamatkan. Seluruh keluarga Jafar saat itu sangat shock dan sedih, karena sehari sebelumnya ayah mereka nampak sehat dan mereka tertawa bersama hingga malam hari.
They killed him”, katanya
Dan meskipun Jafar tidak menyampaikan secara gambalang, dari kata-katanya seakan tersirat bahwa tidak ada hal yang dapat mereka tuntut, karena mereka orang Syiah. Dan tidak ada hal yang membuat para medis takut atau berusaha bertanggung jawab, karena pasien itu bukan Sunni. Apakah benar seperti itu yang terjadi? Entahlah….

Kembali ke kunjungan kami di rumah Jafar. Saat kunjungan ke rumahnya itulah, ia memutar channel TV al-Alam. Ini adalah stasiun TV yang kantornya berpusat di Lebanon. TV itu menunjukkan protes dan doa bersama yang terjadi di beberapa kota lain di Bahrain terkait dengan kematian beberapa demonstran sejak peristiwa 14 februari lalu. Ya..Jafar termasuk mereka yang berharap PM Bahrain segera diturunkan dan diganti dengan yang baru. Aku tidak tau pasti apa yang melatari Jafar mendukung para demonstran – apakah latar belakangnya yang Syiah, apakah kekecewaan terhadap manajemen pemerintah yang tidak mampu mencegah PHK saat krisis, apakah membenci PM Khalifa yang otoriter, pengalaman dengan pihak RS yang terjadi dalam penanganan operasi ayahnya yang tidak bisa dituntut, atau sebab-sebab lain? Kau tahu di saat-saat seperti saat itu, betapa sulitnya menunjukkan sebagai apa kau harus bersikap -- sebagai teman, sebagai wartawan, atau sebagai orang luar.... Aku kesulitan untuk memilih…

 N.B: maaf...ngga ada fotonya Jafar...:(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar