Di suatu hari peliputan kami di Bahrain, kami mewawancarai pemred salah satu koran nasional di Bahrain --Gulf Daily News. Setidaknya ini akan memberikan sudut pandang jurnalis yang mencoba ‘think out the box’ atas situasi nasional yang terjadi. Meskipun demikian, aku, Timmy, dan Yudi sudah cukup mengerti bahwa narsum kami yang satu ini tidak akan 'netral'. Kami yang wartawan di negara yang menjunjung tinggi kebebasan pers pun mengakui tidak bisa netral dalam hal-hal tertentu, apalagi pers di negara yang kendali pemerintahnya kuat seperti ini...
Kami diantar oleh mobil sewaan kami selama di Bahrain. Supir kami, Jafar, mengantar kami pagi ini ke kantor berita Gulf News yang hingga saat ini pun tidak kuketahui letaknya di sudut mana Bahrain =p (aku harusnya lebih peka untuk mengetahui nama wilayah…(_ _) )
Pertama kali bertemu dengan Mr. Abdulrahman, kesan smart memang nampak dalam dirinya. Dan selaku pewawancara, pertanyaan pertama yang diajukan Timmy adalah,
"Berbagai media menyebut konflik yang terjadi di Bahrain adalah antara kalangan
Sunni vs Syiah. bagimana pandangan Anda?"
Dan dengan tegas ia menjawab,
Pertama kali bertemu dengan Mr. Abdulrahman, kesan smart memang nampak dalam dirinya. Dan selaku pewawancara, pertanyaan pertama yang diajukan Timmy adalah,
"Berbagai media menyebut konflik yang terjadi di Bahrain adalah antara kalangan
Sunni vs Syiah. bagimana pandangan Anda?"
Dan dengan tegas ia menjawab,
"Tidak. ini bukan konflik Sunni-Syiah…"
salah satu cover Gulf daily News |
Pertanyaan demi pertanyaan bergulir dengan jawaban demi jawaban yang memberikan aku sudut pandang baru tentang Bahrain -- sungguh berbeda dan lebih mendalam ketimbang apa yang diberitakan oleh media online yang aku baca selama ini.
Semuanya bermula dari 1 pemahaman mengenai kata "demokrasi". Sejak tahun 1990, saat Uni Soviet runtuh, banyak orang mengagung-agungkan penjunjungan sistem ini. semua negara, suka atau tidak, mengaku menganut sistem demokrasi -- bahkan Korea Utara pun menyebut dirinya berdemokrasi! Tapi, tentu saja, demokrasi yang berjalan di setiap negara ngga ada yang persis sama dengan yang berlangsung di negara pendorong demokrasi tersebut agar berlaku di seluruh dunia, Amerika Serikat.
Hal yang sangat kentara dalam demokrasi adalah penjunjungan hak asasi manusia, kesetaraan bagi warga negara, sistem pemilihan umum, dan hak berekspresi/ berpendapat di muka umum. Ap
Semuanya bermula dari 1 pemahaman mengenai kata "demokrasi". Sejak tahun 1990, saat Uni Soviet runtuh, banyak orang mengagung-agungkan penjunjungan sistem ini. semua negara, suka atau tidak, mengaku menganut sistem demokrasi -- bahkan Korea Utara pun menyebut dirinya berdemokrasi! Tapi, tentu saja, demokrasi yang berjalan di setiap negara ngga ada yang persis sama dengan yang berlangsung di negara pendorong demokrasi tersebut agar berlaku di seluruh dunia, Amerika Serikat.
Hal yang sangat kentara dalam demokrasi adalah penjunjungan hak asasi manusia, kesetaraan bagi warga negara, sistem pemilihan umum, dan hak berekspresi/ berpendapat di muka umum. Ap
Anwar M Abdulrahman |
likasinya sendiri terjadi dengan berbagai acara.
Nahh…kembali ke topik unjuk rasa di Bahrain yang berujung dengan jatuhnya korban jiwa, menurut Abdulrahman, bukanlah wujud massa yang berdemokrasi.
"Bagaimana mungkin mereka menyebut demokrasi jika mengekspresikannya dengan
cara-cara yang anarkis?!!”, kata Abdulrahman memberi jawaban sekaligus mengumpan pertanyaan retorik,
Nahh…kembali ke topik unjuk rasa di Bahrain yang berujung dengan jatuhnya korban jiwa, menurut Abdulrahman, bukanlah wujud massa yang berdemokrasi.
"Bagaimana mungkin mereka menyebut demokrasi jika mengekspresikannya dengan
cara-cara yang anarkis?!!”, kata Abdulrahman memberi jawaban sekaligus mengumpan pertanyaan retorik,
”Mereka memperoleh hal-hal baik dari pemerintah -- pendidikan gratis, kesehatan gratis, subsidi perumahan, dll. Lalu saat mereka mulai tidak menyukai pemerintahan, mereka meminta pemerintah segera turun. Saya yakin di negara manapun, meskipun itu AS, tidak akan ada pemerintahan yang mau menerima hal itu.."
Hmm…untuk hal itu aku setuju. Dimanapun, bahkan di Amerika Serikat, tidak mungkin hal tersebut terjadi.
Menurutnya, pemahaman “demokrasi” oleh rakyat setempat masihlah sangat prematur. Hal paling gampang adalah seperti menerapkan demokrasi dalam keluarga. Jika kita berkomitmen untuk memberikan anak kita hak mengekspresikan kemauannya di tengah-tengah keluarga, apakah kita juga akan membiarkan jika ia tidak mau makan makanan yang tersaji, tidak mau sekolah, dan menonton film-film yang belum boleh ia tonton?? Selaku warga negara di sebuah negara muslim, Abdulrahman menekankan bahwa menerima demokrasi bukan berarti membuang semua nilai-nilai tradisional. Dia percaya bahwa ada nilai-nilai islam yang harus dijaga – salah satunya adalah dalam hal menghormati orang tua dan mengakui kepemimpinan seorang pria/ ayah dalam rumah tangga. (well, aku mau bilang hal tersebut pun tidak dibenarkan dalam ajaran kristen. Demokrasi tidak sama dengan kristen, babe… Hanya memang demokrasi muncul di negara barat yang dulu kebanyakan kristen. Dan berkat demokrasi pula, rakyatnya kini banyak yang atheis…)
Menurut Abdurahman lagi, bahwa pemerintahnya saat ini sedang dalam proses mempersiapkan demokrasi dapat diaplikasikan di negara mereka. Oleh karena itulah infrastruktur dan semuanya sedang dipersiapkan sebaik mungkin, sehingga akan tiba saatnya demokrasi siap diterapkan dalam forum yang lebih luas. Demokrasi tidak akan terwujud jika suatu negara masih sangat tergantung pada pemberian bantuan dari negara lain. Dia justru mencemooh demokrasi yang berlangsung di negara barat, seprti Amerika Serikat.
"Jika kita melihat tingginya tingkat kriminalitas dan pembunuhan disana, apakah kita bisa menyebutnya demokrasi? Jika masih ada orang yang ngga bisa makan 3 kali sehari disana, apakah kita bisa menyebutnya demokrasi?"
Kali ini pun aku setuju. namun jika ditelaah lebih jauh, maka kita akan menarik pemikiran ke konsep awal. bagaimanakah para filsuf dan pemikir membuahkan sebuah pemikiran yang dinamakan demokrasi? pada perjalannya yang memakan waktu ratusan tahun,demokrasi dikembangkan dengan berbagai cara. yang menonjol adalah saat demokrasi memberikan hak bagi para wanita dan warga kulit hitam (yang dulu kebanyakan budak) untuk turut berpartisipasi dalam pemilu, hingga akhirnya menyuarakan pendapat mereka di forum umum, lalu mendapat pekerjaan yang sepadan dengan warga kulit putih.
Hmm…untuk hal itu aku setuju. Dimanapun, bahkan di Amerika Serikat, tidak mungkin hal tersebut terjadi.
Menurutnya, pemahaman “demokrasi” oleh rakyat setempat masihlah sangat prematur. Hal paling gampang adalah seperti menerapkan demokrasi dalam keluarga. Jika kita berkomitmen untuk memberikan anak kita hak mengekspresikan kemauannya di tengah-tengah keluarga, apakah kita juga akan membiarkan jika ia tidak mau makan makanan yang tersaji, tidak mau sekolah, dan menonton film-film yang belum boleh ia tonton?? Selaku warga negara di sebuah negara muslim, Abdulrahman menekankan bahwa menerima demokrasi bukan berarti membuang semua nilai-nilai tradisional. Dia percaya bahwa ada nilai-nilai islam yang harus dijaga – salah satunya adalah dalam hal menghormati orang tua dan mengakui kepemimpinan seorang pria/ ayah dalam rumah tangga. (well, aku mau bilang hal tersebut pun tidak dibenarkan dalam ajaran kristen. Demokrasi tidak sama dengan kristen, babe… Hanya memang demokrasi muncul di negara barat yang dulu kebanyakan kristen. Dan berkat demokrasi pula, rakyatnya kini banyak yang atheis…)
Menurut Abdurahman lagi, bahwa pemerintahnya saat ini sedang dalam proses mempersiapkan demokrasi dapat diaplikasikan di negara mereka. Oleh karena itulah infrastruktur dan semuanya sedang dipersiapkan sebaik mungkin, sehingga akan tiba saatnya demokrasi siap diterapkan dalam forum yang lebih luas. Demokrasi tidak akan terwujud jika suatu negara masih sangat tergantung pada pemberian bantuan dari negara lain. Dia justru mencemooh demokrasi yang berlangsung di negara barat, seprti Amerika Serikat.
"Jika kita melihat tingginya tingkat kriminalitas dan pembunuhan disana, apakah kita bisa menyebutnya demokrasi? Jika masih ada orang yang ngga bisa makan 3 kali sehari disana, apakah kita bisa menyebutnya demokrasi?"
Kali ini pun aku setuju. namun jika ditelaah lebih jauh, maka kita akan menarik pemikiran ke konsep awal. bagaimanakah para filsuf dan pemikir membuahkan sebuah pemikiran yang dinamakan demokrasi? pada perjalannya yang memakan waktu ratusan tahun,demokrasi dikembangkan dengan berbagai cara. yang menonjol adalah saat demokrasi memberikan hak bagi para wanita dan warga kulit hitam (yang dulu kebanyakan budak) untuk turut berpartisipasi dalam pemilu, hingga akhirnya menyuarakan pendapat mereka di forum umum, lalu mendapat pekerjaan yang sepadan dengan warga kulit putih.
apakah harapan di bali itu? persamaan hak. mengapa kita butuh persamaan hak? sebagian orang menjawab "untuk memperjuangkan kesejahteraan masing-masing". Sebagian orang lain menjawab "untuk memperoleh kebebasan berekspresi dan berkarya".
oke...untuk hal itu jawaban bisa variatif. tapi banyak orang sepakat bahwa kesejahteraan menjadi sasaran utama mereka. lalu jika pemerintah telah memenuhi standar kesejahteraan tanpa sistem demokrasi, haruskah demokrasi itu dipaksakan???
Aku tau bahwa tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini. Dan bukan berarti mau mencemooh negara yang menganut sistem demokrasi. Namun mencemooh bagaimana mereka memandang rendah negara yang memilih tidak menganut sistem demokrasi -- seakan-akan demokrasi itu paling hebat dan sempurna -- lalu mencegah bantuan atau pinjaman dari Bank Dunia mengalir hanya karena suatu negara tidak mau menganut sistem demokrasi. Menurutku itu benar-benar di luar urusanmu!!!
Aku jadi teringat dosenku, si kepala botak dari Singapura (hehehe…aku lupa namanya). Saat itu ia mengajar kami tentang sejarah dan pemerintahan di Asia Tenggara. Saat kelas kami sedang focus pada system di Singapura, ia menunjukkan bahwa meskipun Singapura ketat dan terlihat banyak larangan di sana-sini,
Aku jadi teringat dosenku, si kepala botak dari Singapura (hehehe…aku lupa namanya). Saat itu ia mengajar kami tentang sejarah dan pemerintahan di Asia Tenggara. Saat kelas kami sedang focus pada system di Singapura, ia menunjukkan bahwa meskipun Singapura ketat dan terlihat banyak larangan di sana-sini,
"but it works…", katanya.Menurutnya, Singapura yang kecil secara bentuk, terkepung secara geografis, minim sumber daya alam, memang harus bertahan dengan cara yang ketat, sehingga lahirlah sistem yang berlaku seperti di Singapura saat ini. Dan aku rasa, itu pula yang terjadi di Bahrain.
Maka aku mengerti mengapa pemerintah Bahrain sedemikian keras menangani demonstran. Seandainya ini semua dapat disampaikan pada mereka yang tidak tahu...
foto: Timothy, google
Aku jadi teringat dosenku, si kepala botak dari Singapura (hehehe…aku lupa namanya). Saat itu ia mengajar kami tentang sejarah dan pemerintahan di Asia Tenggara. Saat kelas kami sedang focus pada system di Singapura, ia menunjukkan bahwa meskipun Singapura ketat dan terlihat banyak larangan di sana-sini,
BalasHapus"but it works…", katanya.Menurutnya, Singapura yang kecil secara bentuk, terkepung secara geografis, minim sumber daya alam, memang harus bertahan dengan cara yang ketat, sehingga lahirlah sistem yang berlaku seperti di Singapura saat ini. Dan aku rasa, itu pula yang terjadi di Bahrain.
Maka aku mengerti mengapa pemerintah Bahrain sedemikian keras menangani demonstran. Seandainya ini semua dapat disampaikan pada mereka yang tidak tahu...
jelas beda, singapura walaupun tidak demokratis mereka sistem berdasar meritokratis, pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi hampir semua warganya, bahkan karena tidak cukup sampai mengimpor dari luar negeri, bahrain walaupun negara kaya, pengangguran cukup tinggi, terutama di mayoritas shiah yang mayoritasnya miskin.
plus, singapura yang mayoritas etnis tionghoa tidak mengalami suatu bentuk diskriminasi seperti yang dialami oleh warga shiah bahrain, at leas secara politik dan ekonomi mereka cukup baik.
baiknya lagi, seperti yang saya bilang, tidak ada etnis melayu atau india yang merasa tidak puas, atau mebgalami diskriminasi di pekerjaan, perut mereka ga lapar, siapapun bisa kaya atau maju/kerja asal qualified...
kalau di bahrain seperti itu mungkin kisahnya beda...