Aku dan teman-teman meninggalkan Bandara Queen Aliya, Yordania pukul 2 siang waktu setempat. Udara masih cukup dingin saat kami meninggalkan negeri itu – sekitar 16 derajad celcius. Dengan maskapai Emirat, kami menuju Dubai dengan perkiraan jarak tempuh perjalanan lebih dari 3 jam.
Aku tidak ingat tepatnya apakah setelah 2,5 jam atau 3 jam perjalanan – yang jelas kami sudah memasuki kawasan Uni Emirat Arab -- pesawat boeing 777 yang membawa kami tiba-tiba mengalami goncangan. Burung besi raksasa itu terlempar ke kanan-kiri, naik-turun berkali-kali dalam hitungan detik. Penumpang yang semula tenang dan sedang menikmati makan siang atau nonton TV serta-merta menjadi panik.
Aku segera melihat ke luar jendela. Awan nampak tebal dan menggumpal dengan warna ke-abu-abu an – meskipun tidak seperti warna awan hujan. Apakah yang sedang terjadi, bathinku. Aku berusaha untuk menenangkan hatiku sendiri.
Goncangan yang semula diperkirakan akan mereda ternyata terus berlangsung lebih dari 3 menit dan tidak kunjung berhenti. Perutku mulai terasa teraduk-aduk. Jantungku mulai berdetak kencang. Penumpang mulai ada yang teriak histeris – terutama penumpang wanita. Anak-anak menangis. Situasi dalam pesawat cukup mencekam saat itu (atau “sangat mencekam” bagi yang saat itu benar-benar ketakutan setengah mati). Aku pun mulai berdoa – berharap Tuhan mengingat setiap kami yang ada di dalam pesawat dan segera berkemurahan untuk menenangkan cuaca buruk di luar sana, seperti hal nya Yesus menenangkan angin sakal di danau saat perahu murid-murid-Nya diterjang gelombang.(heran...kok aku ngga nangis, ya...)
Film Harry Potter yang sedang kutonton pun sudah ngga ku gubris lagi, sibuk menggenggam kencang pegangan kursi pesawat. Penumpang-penumpang pun mulai muntah – termasuk yang duduk di bangku depanku. Bunyi “hoekkk…”yang bertubi-tubi sontak membawa tanganku meraih pashmina yang kupakai sebagai syal untuk menutupi hidung. “Ya, Tuhan…jangan sampai bau muntah orang-orang ini juga memancing aku muntah”, pikirku. Dan perutku pun mulai menunjukkan reaksi-reaksi sulit berkompromi. Aku pun berusaha menenangkan debaran jantungku yang begitu kencang, seiring dengan pesawat yang naik turun dengan cepat serasa naik kora-kora di Taman Ancol. Dan dalam momen kritis itu, temanku Timmy pun dengan sigap segera menyalakan ipod-nya dan mulai merekam kejadian di dalam pesawat. (entah apa yang merasukinya – padahal itu bisa menjadi saat-saat terakhir kami). Suara tangis anak-anak masih terdengar kala itu. Aku tidak ingat seberapa lama itu berlangsung, sampai akhirnya situasi pun mulai mereda, dan pesawat kami lolos melewati cuaca buruk tersebut.
Hanya dalam hitungan menit setelah situasi mereda, pesawat kami dinyatakan siap untuk mendarat di Bandara int’l Dubai. Dubai terlihat agak teduh dengan langit berwarna kelabu.
Setelah pesawat mendarat, barulah aku mendengar dari salah satu pramugari bahwa kami baru saja melewati badai gurun (sand storm). Aku tidak tau penyebab pasti terjadinya badai gurun, namun kemungkinan karena peralihan musim. God…ngga kebayang kalau tadi kami naik pesawat kecil apa yang akan terjadi…???!!!!!!
Pengalaman menghadapi sand storm di udara mungkin adalah salah satu pengalaman yang ngga akan terlupakan seumur hidup. Aku jadi teringat, bahwa kejadian kemarin bukanlah satu-satunya pengalamanku menghadapi sand storm. Sebenarnya saat aku dan teman-teman meliput di Bahrain, kami pun menghadapinya.
Sand storm terjadi pada suatu malam. Aku tidak melihat langsung kejadian saat angin menghantam Bahrain begitu hebatnya malam itu, karena sudah tidur;p (aku memang suka tidur cepat..). Namun sudah mendengar selentingan beritanya dari twit beberapa penduduk local yang aku ikuti via account twitter-ku. Tapi menurut Yudi dan Timmy yang masih terjaga pada jam itu, kaca jendela kamar mereka terpukul berkali-kali oleh tali tempat pembersih kaca hotel bergelantungan. Dan saat mereka berusaha untuk melihat jalanan, tidak ada satu pun yang terlihat – hanya putaran pasir berterbangan yang membuat pemandangan berwarna coklat keruh.
Dan saat paginya, waktu kami mau live di luar lobby hotel, aku sempat kaget melihat pohon-pohon, mobil-mobil, dan atap parkiran semuanya tertutup warna coklat pasir. Anginnya pun masih bertiup sangat kencang pagi itu, sehingga kami terpaksa live dari dalam lobby hotel. Dan ternyata stand storm yang dialami oleh Bahrain bersumber dari Kwait (jadi aku pun ngga bisa bayangkan seberapa dasyatnya sand storm menerpa Kwait kala itu).
sehari setelah sand storm, angin masih terlalu kencang...lihat daun pohonnya... |
lihatlah pada debu di mobil...bukan pada merk mobilnya:p |