hiruk-pikuk Thamel |
Nampaknya sekarang kami hanya sibuk menghitung hari untuk kembali ke tanah air. Dan terus terang saja, bagiku secara pribadi, sudah ngga sabar untuk mencicipi makanan-makanan Indonesia lagi :).. Sayangnya tiket terdekat untuk kembali ke Indonesia yang bisa kami peroleh adalah tanggal 31 Mei. Jadi, beberapa hari belakangan area perjalanan kami akan mengarah selalu ke 1 tempat: Thamel
Hiruk pikuk Thamel mungkin bisa disamakan dengan daerah Legian, Bali. Setiap kali berputar-putar dan menelusuri lorong-lorongnya, tidak pernah menemukannya dalam keadaan sepi, kecuali jelang pukul 10 malam. Meskipun begitu, Thamel sebenarnya tidak pernah 'mati', karena diskotik-diskotik kelas ecek-ecek yang nyempil di antara ruko-ruko tetap 'hidup' hingga dini hari. pernah suatu kali Thamel nampak lengang adalah karena situasi politik memanas di Khatmandu. Terjadi demo besar-besaran karena perseteruan partai dan masalah pembuatan konstitusi yang tidak kunjung usai. Saat itu, toko-toko di Thamel benar-benar memilih untuk tutup ketimbang tokonya dijadikan sasaran amukan massa. Bukan hanya menyebabkan roda bisnis di kawasan Thamel ngga jalan, bahkan nilai tukar mata uang mereka (rupee) pun melemah.
Tapi di luar kejadian luar biasa seperti unjuk rasa dkk tersebut, Thamel benar-benar kawasan yang bersahabat dengan turis. Banyak toko-toko yang menjual cendramata khas Nepal dan kaos-kaos unik dengan harga terjangkau. Di Thamel juga banyak cafe dan resto. Sebagian besar menjual masakan khas western dan Jepang. Semua makanan cenderung disediakan dalam porsi besar (jika dibandingkan dengan makanan di resto-resto Indonesia). Nampaknya wisatawan asia yang paling banyak berkunjung ke Nepal adalah Jepang. Kami sendiri kalau jalan-jalan di Thamel selalu dikira orang Malaysia. Dan saat kami menjelaskan bahwa kami orang Indonesia, biasanya para penjual di Thamel memberikan respon wajah bingung atau tidak tahu. Nampaknya Indonesia memang tidak terkenal di tempat ini. Hanya sebagian dari mereka bahkan yang mengenal Pulau Bali. Padahal kalau kita bertemu turis asing, rasanya hamper ngga pernah menemukan yang ngga tau tentang Bali (tapi emang sich…Indonesianya ngga terkenal. Klo kenal, biasanya itu petugas imigrasi asing…dan mereka langsung ingat 1 kata “teroris”.). Warga Nepal di Thamel pun mengenal ciri khas tampang melayu sebagai milik orang Malaysia, bukan karena banyak wisatawan Malaysia yang berkunjung, tetapi karena sebagian warga mereka biasanya pernah mengadu nasib sebagai TKN (tenaga kerja Nepal) di Malaysia -- entah untuk beberapa bulan atau beberapa tahun.
Para penjual cinderamata di Thamel sangat ramah. Membuat kami nyaman untuk bertransaksi dengan mereka. Kami memborong banyak sekali kukri (pisau khas Nepal), pasmina bulu yak, postcard, gantungan kunci, pajangan meja, kaos, gelang, dan batu-batu perhiasan. Rasanya berbelanja seperti kalap, karena harga barang-barangnya terhitung sangat murah. Bayangkan…kami yang hitungan turis aja masih bias merasa itu murah….Aku rasa orang Nepal asli masih bias mendapat setengah hingga 2/3 dari harga itu…Tetapi setelah dikalkulasi secara keseluruhan, tetep aja rasanya dompet sudah kebobolan :'(…
pernak-pernik di sepanjang jalan Thamel |
Hiruk pikuk Thamel mungkin bisa disamakan dengan daerah Legian, Bali. Setiap kali berputar-putar dan menelusuri lorong-lorongnya, tidak pernah menemukannya dalam keadaan sepi, kecuali jelang pukul 10 malam. Meskipun begitu, Thamel sebenarnya tidak pernah 'mati', karena diskotik-diskotik kelas ecek-ecek yang nyempil di antara ruko-ruko tetap 'hidup' hingga dini hari. pernah suatu kali Thamel nampak lengang adalah karena situasi politik memanas di Khatmandu. Terjadi demo besar-besaran karena perseteruan partai dan masalah pembuatan konstitusi yang tidak kunjung usai. Saat itu, toko-toko di Thamel benar-benar memilih untuk tutup ketimbang tokonya dijadikan sasaran amukan massa. Bukan hanya menyebabkan roda bisnis di kawasan Thamel ngga jalan, bahkan nilai tukar mata uang mereka (rupee) pun melemah.
Tapi di luar kejadian luar biasa seperti unjuk rasa dkk tersebut, Thamel benar-benar kawasan yang bersahabat dengan turis. Banyak toko-toko yang menjual cendramata khas Nepal dan kaos-kaos unik dengan harga terjangkau. Di Thamel juga banyak cafe dan resto. Sebagian besar menjual masakan khas western dan Jepang. Semua makanan cenderung disediakan dalam porsi besar (jika dibandingkan dengan makanan di resto-resto Indonesia). Nampaknya wisatawan asia yang paling banyak berkunjung ke Nepal adalah Jepang. Kami sendiri kalau jalan-jalan di Thamel selalu dikira orang Malaysia. Dan saat kami menjelaskan bahwa kami orang Indonesia, biasanya para penjual di Thamel memberikan respon wajah bingung atau tidak tahu. Nampaknya Indonesia memang tidak terkenal di tempat ini. Hanya sebagian dari mereka bahkan yang mengenal Pulau Bali. Padahal kalau kita bertemu turis asing, rasanya hamper ngga pernah menemukan yang ngga tau tentang Bali (tapi emang sich…Indonesianya ngga terkenal. Klo kenal, biasanya itu petugas imigrasi asing…dan mereka langsung ingat 1 kata “teroris”.). Warga Nepal di Thamel pun mengenal ciri khas tampang melayu sebagai milik orang Malaysia, bukan karena banyak wisatawan Malaysia yang berkunjung, tetapi karena sebagian warga mereka biasanya pernah mengadu nasib sebagai TKN (tenaga kerja Nepal) di Malaysia -- entah untuk beberapa bulan atau beberapa tahun.
Para penjual cinderamata di Thamel sangat ramah. Membuat kami nyaman untuk bertransaksi dengan mereka. Kami memborong banyak sekali kukri (pisau khas Nepal), pasmina bulu yak, postcard, gantungan kunci, pajangan meja, kaos, gelang, dan batu-batu perhiasan. Rasanya berbelanja seperti kalap, karena harga barang-barangnya terhitung sangat murah. Bayangkan…kami yang hitungan turis aja masih bias merasa itu murah….Aku rasa orang Nepal asli masih bias mendapat setengah hingga 2/3 dari harga itu…Tetapi setelah dikalkulasi secara keseluruhan, tetep aja rasanya dompet sudah kebobolan :'(…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar