Halaman

Minggu, 02 Desember 2012

Dubai: Hidup sebagai Perantau




Suatu hari aku pernah naik mobil dengan supir orang Asia Selatan (aku lupa tepatnya, apakah dia Pakistan, Afganistan, atau India). Saat ditanyai bagaimana pendapatnya tentang Dubai, dia bilang kota ini tidak menyenangkan. Aku dan teman-temanku yang berada di mobil itu tentu saja heran. Lalu dia lanjutkan dengan mengatakan bahwa kota ini menyenangkan untuk kunjungan beberapa waktu, tetapi jika kita tinggal untuk waktu yang lama, kita akan menemukan bahwa kota ini tidak begitu menyenangkan. Kesimpulan yang kuperoleh dari curhat si supir yang lumayan panjang adalah biaya hidup di Dubai tinggi dan penduduk setempat yang individualistis.

para pekerja asing sangat mudah ditemukan di jalanan
Setidaknya sudah 2 supir yang kami tanyai, dan mereka berkomentar relatif serupa. Kota ini memang menakjubkan apabila dilihat dari konstruksi bangunannya yang menjulang dan megah. Bahkan banyak hal di UEA yang menjadi nomor 1 di dunia -- gedung tertinggi, mall terbesar, aquarium terbesar, lift tercepat, gedung dengan lantai terbanyak, dan entah apalagi yang belum aku ketahui…Tapi jika kita terjun dalam kehidupan sehari-hari, mereka bilang itu tidak semudah yang terlihat.

Aku mulai mencoba memahaminya… Harga makanan di UEA cenderung sama dengan harga di Jakarta (bahkan terkadang ada yang lebih murah). Untuk produk-produk elektronik… jelas lebih murah UEA, meskipun kosmetik cenderung lebih mahal. Pakaian-pakaian juga banyak yang murah, meskipun banyak pula yang mahal (tapi jika dibandingkan dengan item yang sama, maka Jakarta akan memberi harga yang lebih mahal). Harga transportasi jika harus naik taksi pun sama dengan harga di Jakarta. Jadi analisaku sementara adalah memang gaji para pekerja pendatang disini rendah, sehingga mereka memang harus berjuang untuk hidup -- mungkin bahkan mengambil 2 profesi, di siang dan malam hari…atau, justru gaji mereka sudah memadai, tapi mereka masih membandingkannya dengan gaya hidup yang diperoleh oleh penduduk local (dan itu memang ngga mungkin sama…)

Beberapa supir yang pernah berbincang dengan kami -- selaku wartawan, kami banyak bertanya, dan 'korban'nya kebanyakan supir -- banyak yang merupakan pendatang baru. Mereka baru hitungan beberapa bulan atau belum sampai 5 tahun bekerja. Pemikiranku sementara mengenai hal itu adalah pekerja sebelumnya banyak yang tidak bertahan, lalu memilih untuk keluar dan pindah entah kemana. Itu sebabnya selalu ada pekerja baru yang masuk. Banyak dari mereka belum menikah (aku bayangkan jika di Indonesia, pastinya pria seusia mereka sudah menikah--bahkan meskipun mereka pengangguran). Jika ditanya mengapa belum menikah, alasannya karena hidup sangat keras…(wow…mereka realistis sekali…seandainya lebih banyak orang Indonesia yang realistis ketimbang mengandalkan figure atau harta gono-gini…uppss….kemabli ke track)

Aku memang tidak pernah menanyakan gaji mereka, tetapi itulah bayangan dalam benakku sementara ini. Bahkan saat di Bahrain, supir kami, Jafar (semoga masih ingat) bilang kalau di Bahrain pembantu yang berasal dari warga pendatang ’ hanya’ dihargai Rp 1,6 juta per bulan. Meskipun untuk ukuran Indonesia itu sudah mahal banget (mencapai 3x gaji pembantu di Indonesia), tetapi untuk ukuran Bahrain itu masih murah sekali, mengingat biaya hidup yang mahal. Kabar baiknya, pembantu rumah tangga tidak perlu mengeluarkan biaya transport, tempat tinggal, dan makan – karena semuanya telah ditanggung oleh majikan mereka. Nah…, nampaknya gaji supir pun tidak jauh berbeda dari angka itu. Mungkin sedikit lebih tinggi, tapi mereka masih harus keluar biaya makan dan tempat tinggal. Beruntung supir kami Jafar adalah mantan pegawai bank, sehingga ia tidak benar-benar bergantung hanya pada pekerjaannya sekarang yang sebagai supir. Tapi ngga semua supir seberuntung Jafar -- bahkan bisa dikatakan lebih banyak yang senasib dengan para pembantu dan supir dari Asia Selatan ini. Huff…kiranya Tuhan menolong mereka...

uppss..ini bukan pekerja asing...Ini Yudi dan Timmy pas liputan profil TKI yang berhasil di Dubai^^
Lalu bagaimana dengan kehidupan pendatang di negara Timur Tengah lainnya? Di Irak misalnya…aku jadi penasaran. Irak merupakan negara tujuan kami selanjutnya, tetapi kami masih berusaha mendapatkan visa untuk masuk ke sana. Aku dengar di Irak ada pembantu-pembantu yang digaji mahal disana – mencapai US$500-600 per bulan! Menurut kabar, mereka memperolehnya jika mendapat majikan yang berasal dari suku Kurdi yang tinggal di sebelah utara Irak – suku ini adalah pengusaha minyak. Kabar itu masih sumir, dan…bagaimana aku mau tau kalau belum sampai kesana…
Usut punya usut, setelah bertanya dengan orang Indonesia yang tinggal di Dubai, ternyata biaya tempat tinggal cukup mahal di Dubai – menyebabkan para pendatang harus membayar secara patungan untuk menyewa 1 ruang apartemen. Biaya sewa apartemen bisa mencapai 3300 dirham per bulan atau US$900 an (atau sekitar Rp 8,200,000). Padahal itu setara dengan gaji penjaga toko di mall. Jadi, mau ngga mau, 1 apartemen harus digunakan oleh 3-5 orang untuk menghemat biaya, sehingga dapat lebih banyak menabung atau mengirim uang bagi keluarga yang ditinggalkan di negara asal. Itu pula yang menyebabkan banyak perusahaan Dubai pun menyediakan  tempat tinggal bagi karyawan dan bus antar jemput untuk menghemat biaya transportasi. Beruntunglah bagi mereka yang mendapatkannya. Tapi bagi yang tidak, wajar saja mereka merasakan betapa kerasnya hidup di kota ini. Belum lagi harus bekerja dan deal dengan berbagai pendatang asing yang punya kultur kerja berbeda-beda…bisa mendatangkan stress di tempat kerja maupun di jalan. Tapi setidaknya selama bekerja di Dubai, mereka bisa menghadiahkan barang-barang elektronik dengan harga murah untuk dikirim ke keluarga mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar